Archive for category Study Fiqih

ISTIHSAN

Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu)[1]. Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”

Menurut istilah :” Beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kiyas yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada pengecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.”

Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:

1.    Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.

2.    Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[2]

3.    Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.

4.    Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.[3]

Dari definisi-definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.

Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti. Baca entri selengkapnya »

Tinggalkan komentar